Minggu, 27 Juni 2010

ARSITEKTUR ISLAM DI BARAT




Islam pernah mengalami kejayaan di Eropa yang dimulai dari Andalusia, Spanyol bagian selatan, pada masa pemerintahan bani Umayah yaitu tahun 711 masehi atau 97 hijriah. Salah satu bangunan terkenal yang menjadi saksi kejayaan itu adalah Alhambra yang terletak di kota Granada dan Masjid Cordoba yang terletak di Cordoba. Kedua kota tersebut berada di Andalucia, Spanyol.
Pembanugnan kedua bangunan tersebut didesain tidak lepas dari seni islam yang berkembang pada saat itu. Kesenian islam yang dimaksud, menurut Prisse (1878) dalam Rabah (2004) terbagi dalam 3 bagian, yaitu bunga, geometri, dan kaligrafi. Ketiga seni islam tersebut yang menghiasi ruang dalam dan fasade bangunan.
Pada bangunan-bangunan islam di Andalucia, implementasi seni geometri lebih dominan dibandingkan dengan kedua kesenian yang lain. Begitu juga pada teknik pembuatan denah, fasade, dan ornamen-ornamen yang menghiasi ruang dalam bangunan, teknik geometri sangat ditekankkan sehingga kesan simetris sangat terlihat.
Alhambra yang merupakan salah satu bangunan peninggalan islam dinasti Nasrid di Granada, Spanyol, merupakan bangunan muslim yang didesain dengan menggunakan ilmu matematika sederhana. Desain dan teknik pelaksanaan bangunan tersebut berdasar pada ilmu geometri dan tanpa dibekali dengan ilmu mekanik yang kita kenal saat ini.
Metode yang digunakan untuk pembuatan bangunan Alhambra berdasar pada metode ratio 1:5. Metode ratio ini sering digunakan pada pembuatan bangunan-bangunan untuk penentuan denah yaitu perbandingan panjang dan lebar. Selain itu aspek ratio ini juga berlaku untuk ketinggian, yaitu perbadingan lebar dan tinggi bangunan. Sebagai contoh bangunan yang mengaplikasikan aspek ratio ini adalah denah bangunan Palacio del Parta di Alhambra dan menara Abd Al-Rahman III di Masjid Cordoba yang mana tinggi menara lima kali tinggi lebar bangunan.
Metode lain yang digunakan untuk pembuatan bangunan tersebut adalah teorema pitagoras yang berasal dari Yunani, dan sedang berkembang pada saat itu. Teori ini memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap metode pembangunan Alhambra. Arsitek pada saat itu tidak menggunakan busur untuk menentukan sudut, melainkan memanfaatkan diagonal pada segitga. Pemanfaatan diagonal tersebut untuk digunakan pada salah satu sisi segitiga akan menghasilkan sudur yang berbeda. Sehingga akan didapatkan dua segitiga yang sering digunakan dengan sudut 90, 45, 45 atau disebut dengan Escuadra dan sudut 90, 60, 30 atau disebut dengan cartabon.

Sedangkan untuk sistem satuan, pada saat itu sudah mengenal Hispano-Muslim codo yang merupakan warisan Roman Pedes. Ada dua macam satuan yang dikenal pada saat itu, yaitu ma'munit codo yang bernilai antara 47,5 cm dan 50 cm dan rashshashid codo yang bernilai 60 cm dan 63 cm atau 62 cm dan 63 cm. Untuk pembangunan Alhambra sendiri, sistem satuan yang digunakan adalah rashshashid codo.




Implementasi geometri pada denah, fasade, dan layout di Alhambra
Dalam penentuan sebuah denah, hal pertama yang diperhatikan adalah ratio perbandingan 1:5, yaitu lebar bangunan lima kali dari ukuran panjang. Pada contoh ini, kita mencoba mengacu pada bangunan Palacio del Partal. Mula-mula dibuatlah bentuk persegi imajiner sejumlah 5 buah yang ditata secara menyamping. Selanjutnya dibuat garis luar untuk menentukan ketebalan dinding selebar ¾ rashshashid codo pada sisi timur, barat, dan selatan. Ukuran ini juga diberlakukan pada kolom masing-masing bagian persegi, kecuali pada bagian timur dan barat selebar 2 rashshashid codo karena digunakan untuk mengikat kolom dari dua arah.

Dengan menggunakan metode escuadra, ditariklah garis imajiner dari bagian dalam kolom 2 dan 4 sehingga ketemu satu titik di bagian utara. Titik itu juga lah yang menentukan ketebalan dinding bagian utara, sehingga dinding bagian utara bangunan tampak lebih tebal dari ketiga dinding yang lain.
Titik pertemuan yang digunakan untuk menentukan ketebalan dinding bagian utara, selanjutnya dtarik garis lurus menuju ke selatan. Dari titik bagian selatan tersebut dilanjutkan membuat garis imajiner dengan cartabon, yang menggunakan sudut 30o. Ketika garis imajiner menyentuh bagian dinding utara, maka akan terbentuk 2 titik. Dari jarak kedua titik tersebut dibuat sebuah persegi dengan jarak yang sama. Persegi tersebut digunakan untuk sebuah tower. Sedangkan untuk ketebalan dinding tower pada bagian barat dan timur, disamakan dengan ketebalan dinding bagian timur, selatan, dan barat pada galeri.



Untuk ketebalan dinding bagian utara tower, ditentukan kembali dengan kombinasi escuadra dan cartabon, dan seterusnya. Langkah-langkah tersebut dalam sebatas rencana pada denah. Dalam menentukan kembali rancangan secara vertikal atau bentuk fasade, kembali digunakan escuadra dan cartabon. Penentuan-penentuan tersebut dilakukan untuk mendapatkan proporsi yang tepat dalam sebuah bangunan. Tidak hanya pada bangunan, akan tetapi metode ini juga diterapkan dalam penentuan layout plan, contohnya pada taman Palacio del Riyad.







AYU SOFIA SIMBOL KEMENANGAN ISLAM DI EROPA



Kini namanya Museum Aya Sofia. Sebelum menjadi museum, bangunan ini dulunya adalah masjid. Dan sebelum menjadi masjid, ia adalah gereja yang bernama Haghia Sopia.

Usia bangunan ini sudah sangat tua, sekitar lima abad. Bangunan ini merupakan kebanggaan masyarakat Muslim di Istanbul, Turki. Keindahan arsitekturnya begitu mengagumkan para pengunjung. Karenanya, jika berkunjung ke Istanbul, belum lengkap tanpa melihat kemegahan Aya Sofia.

Tampak dari luar, pengunjung disuguhkan ukuran kubah yang begitu besar dan tinggi. Ukuran tengahnya 30 meter, tinggi dan fundamennya 54 meter. Ketika memasuki area bangunan, pengunjung dibuai oleh keindahan interior yang dihiasi mosaik dan fresko. Tiang-tiangnya terbuat dari pualam warna-warni. Sementara dindingnya dihiasi beraneka ragam ukiran.

Selain keindahan interior, daya tarik bangunan ini juga didapat dari nilai sejarahnya. Di sinilah simbol pertarungan antara Islam dan non-Islam, termasuk di dalamnya nilai-nilai sekuler pascaruntuhnya Kekhalifahan Turki Usmani.

Gereja
Sebelum diubah menjadi masjid, Aya Sofia adalah sebuah gereja bernama Hagia Sophia yang dibangun pada masa Kaisar Justinianus (penguasa Bizantium), tahun 558 M. Arsitek Gereja Hagia Sophia ini adalah Anthemios dari Tralles dan Isidorus dari Miletus.

Berkat tangan Anthemios dan Isidorus, bangunan Hagia Sophia muncul sebagai simbol puncak ketinggian arsitektur Bizantium. Kedua arsitek ini membangun Gereja Hagia Sophia dengan konsep baru. Hal ini dilakukan setelah orang-orang Bizantium mengenal bentuk kubah dalam arsitektur Islam, terutama dari kawasan Suriah dan Persia. Keuntungan praktis bentuk kubah yang dikembangkan dalam arsitektur Islam ini, terbuat dari batu bata yang lebih ringan daripada langit-langit kubah orang-orang Nasrani di Roma, yang terbuat dari beton tebal dan berat, serta mahal biayanya.

Oleh keduanya, konsep kubah dalam arsitektur Islam ini dikombinasikan dengan bentuk bangunan gereja yang memanjang. Dari situ kemudian muncullah bentuk kubah yang berbeda secara struktur, antara kubah Romawi dan kubah Bizantium. Pada arsitektur Romawi, kubah dibangun di atas denah yang sudah harus berbentuk lingkaran, dan struktur kubahnya ada di dalam tembok menjulang tinggi, sehingga kubah itu sendiri hampir tidak kelihatan. Sedangkan kubah dalam arsitektur Bizantium dibangun di atas pendentive--struktur berbentuk segitiga melengkung yang menahan kubah dari keempat sisi denah persegi--yang memungkinkan bangunan kubah tersebut terlihat secara jelas.

Bangunan gereja ini sempat hancur beberapa kali karena gempa, kemudian dibangun lagi. Pada 7 Mei 558 M, di masa Kaisar Justinianus, kubah sebelah timur runtuh terkena gempa. Pada 26 Oktober 986 M, pada masa pemerintahan Kaisar Basil II (958-1025), kembali terkena gempa. Akhirnya, renovasi besar-besaran dilakukan agar tak terkena gempa di awal abad ke-14.

Pengembangan Turki Usmani
Pada 27 Mei 1453, Konstantinopel takluk oleh tentara Islam di bawah pimpinan Muhammad II bin Murad II atau yang terkenal dengan nama Al-Fatih yang artinya sang penakluk. Saat berhasil menaklukkan kota besar Nasrani itu, Al-Fatih turun dari kudanya dan melakukan sujud syukur.

Ia pergi menuju Gereja Hagia Sophia. Saat itu juga, bangunan gereja Hagia Sophia diubah fungsinya menjadi masjid yang diberi nama Aya Sofia. Pada hari Jumatnya, atau tiga hari setelah penaklukan, Aya Sofia langsung digunakan untuk shalat Jumat berjamaah.

Sepanjang kekhalifahan Turki Usmani, beberapa renovasi dan perubahan dilakukan terhadap bangunan bekas gereja Hagia Sophia tersebut agar sesuai dengan corak dan gaya bangunan masjid.

Dalam sejarah arsitektur Islam, orang-orang Turki dikenal sebagai bangsa yang banyak memiliki andil dalam pengembangan arsitektur Islam ke negara-negara lainnya. Sementara dalam masalah keagamaan, orang-orang Turki terkenal sangat bijak, sebab mereka tidak memaksakan penduduk daerah taklukannya untuk masuk Islam, meskipun mereka berani berperang untuk membela Islam.

Karena orang-orang Turki yang beragama Islam cukup arif, maka ketika Gereja Hagia Sophia dialihfungsikan menjadi masjid pada 1453, bentuk arsitekturnya tidak dibongkar. Kubah Hagia Sophia yang menjulang ke atas dari masa Bizantium ini tetap dibiarkan, tetapi penampilan bentuk luar bangunannya kemudian dilengkapi dengan empat buah menara. Empat menara ini, antara lain, dibangun pada masa Al-Fatih, yakni sebuah menara di bagian selatan. Pada masa Sultan Salim II, dibangun lagi sebuah menara di bagian timur laut. Dan pada masa Sultan Murad III, dibangun dua buah menara.

Pada masa Sultan Murad III, pembagian ruangnya disempurnakan dengan mengubah bagian-bagian masjid yang masih bercirikan gereja. Termasuk, mengganti tanda salib yang terpampang pada puncak kubah dengan hiasan bulan sabit dan menutupi hiasan-hiasan asli yang semula ada di dalam Gereja Hagia Sophia dengan tulisan kaligrafi Arab. Altar dan perabotan-perabotan lain yang dianggap tidak perlu, juga dihilangkan.
Begitu pula patung-patung yang ada dan lukisan-lukisannya sudah dicopot atau ditutupi cat. Lantas selama hampir 500 tahun bangunan bekas Gereja Hagia Sophia berfungsi sebagai masjid.

Akibat adanya kontak budaya antara orang-orang Turki yang beragama Islam dengan budaya Nasrani Eropa, akhirnya arsitektur masjid yang semula mengenal atap rata dan bentuk kubah, kemudian mulai mengenal atap meruncing. Setelah mengenal bentuk atap meruncing inilah merupakan titik awal dari pengembangan bangunan masjid yang bersifat megah, berkesan perkasa dan vertikal. Hal ini pula yang menyebabkan timbulnya gaya baru dalam penampilan masjid, yaitu pengembangan lengkungan-lengkungan pada pintu-pintu masuk, untuk memperoleh kesan ruang yang lebih luas dan tinggi.

Museum
Perubahan drastis terjadi di masa pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk di tahun 1937. Penguasa Turki dari kelompok Muslim nasionalis ini melarang penggunaan bangunan Masjid Aya Sofia untuk shalat, dan mengganti fungsi masjid menjadi museum. Mulailah proyek pembongkaran Masjid Aya Sofia. Beberapa desain dan corak bangunan yang bercirikan Islam diubah lagi menjadi gereja.

Sejak difungsikan sebagai museum, para pengunjung bisa menyaksikan budaya Kristen dan Islam bercampur menghiasi dinding dan pilar pada bangunan Aya Sofia. Bagian di langit-langit ruangan di lantai dua yang bercat kaligrafi dikelupas hingga mozaik berupa lukisan-lukisan sakral Kristen peninggalan masa Gereja Hagia Sophia kembali terlihat.

Sementara peninggalan Masjid Aya Sofia yang menghiasi dinding dan pilar di ruangan lainnya tetap dipertahankan.

Sejak saat itu, Masjid Aya Sofia dijadikan salah satu objek wisata terkenal di Istanbul oleh pemerintah Turki. Nilai sejarahnya tertutupi gaya arsitektur Bizantium yang indah memesona.


Menjadi Inspirasi dalam Perkembangan Arsitektur Islam

Arsitektur Islam dapat dikatakan identik dengan arsitektur masjid. Sebab, ciri-ciri arsitektur Islam dapat terlihat jelas dalam perkembangan arsitektur masjid. Salah satu masjid yang gaya arsitekturnya banyak ditiru oleh para arsitek Muslim dalam membangun masjid di berbagai wilayah kekuasaan Islam adalah Masjid Aya Sofia di Istanbul, Turki.

Desain dan corak bangunan Aya Sofia sangat kuat mengilhami arsitek terkenal Turki Sinan (1489-1588) dalam membangun masjid. Sinan merupakan arsitek resmi kekhalifahan Turki Usmani dan posisinya sejajar dengan menteri.

Kubah besar Masjid Aya Sofia diadopsi oleh Sinan--yang kemudian diikuti oleh arsitek muslim lainnya--untuk diterapkan dalam pembangunan masjid.

Salah satu karya terbesar Sinan yang mengadopsi gaya arsitektur Aya Sofia adalah Masjid Agung Sulaiman di Istanbul yang dibangun selama 7 tahun (1550-1557). Seperti halnya Aya Sofia, masjid yang kini menjadi salah satu objek wisata dunia itu memiliki interior yang megah, ratusan jendela yang menawan, marmer mewah, serta dekorasi indah.

Dalam sejarah arsitektur Islam, orang-orang Turki dikenal sebagai bangsa yang banyak memiliki andil dalam pengembangan arsitektur Islam hingga ke negara lainnya. Misalnya Dinasti Seljuk yang menampilkan tiga ciri arsitektur Islam, khususnya arsitektur masjid.

Pertama, Dinasti Seljuk tetap mengembangkan konsep mesjid asli Arab, dengan lapangan terbuka di bagian tengahnya. Kedua, konsep masjid madrasah dan berkubah juga dikembangkan. Ketiga, mengembangkan konsep baru setelah berkenalan dengan kebudayaan Barat, terutama pada masa Dinasti Umayyah.

Ketika orang-orang Turki memperluas kekuasaannya atas dasar kepentingan ekonomi dan militer pada abad ke-11, mereka akhirnya bisa menguasai Bizantium.

Saat kebudayaan Islam bersentuhan dengan kebudayaan Eropa di Kerajaan Romawi Timur (Bizantium/Konstantinopel) pada abad ke-11, arsitektur Islam juga menimba teknik dan bentuk arsitektur Eropa, yang tumbuh dari arsitektur Yunani dan Romawi. Sebaliknya, teknik dan bentuk arsitektur Islam yang dibawa oleh bangsa Turki juga disadap oleh bangsa Romawi untuk dikembangkan di Kerajaan Romawi Timur.

Akibat adanya kontak budaya antara orang-orang Muslim Turki dan budaya Nasrani di Eropa Timur inilah, arsitektur Islam yang semula hanya mengenal atap bangunan rata dan bentuk kubah, kemudian mulai mengenal atap meruncing ke atas. Selain itu, sejak bersentuhan dengan kebudayaan Kerajaan Romawi Timur ini juga, arsitektur Islam mulai mengenal arsitektur yang bersifat megah, berkesan perkasa, dan vertikalisme.



Sumber :
http://www.suaramedia.com/sejarah/sejarah-islam/12455-aya-sofia-simbol-kemenangan-islam-di-tanah-eropa.html
http://www.eramuslim.com/syariah/tsaqofah-islam/andi-pramono-pola-geometri-pada-seni-dan-arsitektur-islam-di-andalucia.htm

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda